KUPANG. NUSA FLOBAMORA – Rencana sita eksekusi dalam objek perkara hutang piutang antara Ketut Rudy Utama dengan Bank Kristal Jaya mendapat reaksi dari kuasa hukum pihak tergugat.
Pasalnya, perintah sita oleh Pengadilan Negeri (PN) Kupang Klas IA dinilai tidak sah karena kasus ini masih dalam tahap kasasi di
Mahkamah Agung (MA) dan belum ada putusan final atau inkracht.
Hal ini disampaikan Kuasa Hukum Ketut Rudy Utama selaku tergugat yakni I Ketut Suyadnya, SH., MH kepada wartawan di Kupang, Senin (24/3/2025).
I Ketut keberatan atas perintah sita eksekusi yang dikeluarkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Kupang Kelas 1A karena belum final.
Pihaknya kaget karena sita eksekusi dilakukan harus ada putusan final dari MA terlebih dahulu dan ini sangat tidak masuk di akal.
“Kami dari pihak tergugat menilai tindakan eksekusi oleh pihak penggugat dalam hal ini pihak bank salahi prosedur hukum karena belum ada putusan final MA. Maka sita eksekusi seharusnya tidak dilakukan,” tegas I Ketut.
Untuk diketahui, kasus ini bermula dari pinjaman sebesar Rp100 juta pada tahun 2013 dengan jaminan sebuah mobil Suzuki Ertiga atas nama Ketut Rudy Utama.
Dalam perjalanan, karena kebutuhan usaha, tanah milik Gabriel Odja kemudian dijaminkan untuk mendapatkan tambahan kredit.
Namun, kuasa hukum menilai ada kejanggalan dalam proses perjanjian kredit tersebut, terutama terkait perpanjangan kontrak yang dilakukan berkali-kali tanpa kejelasan.
Menurut I Ketut, jika seseorang macet membayar kredit selama satu tahun, bank akan langsung mengambil tindakan tegas.
Tetapi justru diperpanjang lebih dari 10 kali adendum. Akibatnya, pinjaman yang awalnya hanya Rp100 juta kini membengkak menjadi Rp3,8 miliar.
Dirinya juga mempertanyakan transparansi dalam pengalihan kredit dari almarhum Gabriel kepada Ketut Rudy Utama karena ada kejanggalan karena pengalihan dilakukan saat debitur masih hidup dengan alasan faktor usia.
Dalam persidangan di PN, pihak Bank Krista Jaya memenangkan perkara. Namun, Ketut Rudy Utama mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT). Hasilnya, PT mengeluarkan putusan niet ontvankelijk verklaard (NO), yang berarti perkara tidak dapat diterima.
Putusan NO itu artinya tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Namun, pihak bank tidak menerima keputusan ini dan mengajukan kasasi ke MA.
“Yang jadi masalah, pengajuan kasasi ini sudah kadaluarsa secara administrasi karena baru dikirimkan kepada kami lebih dari satu bulan setelah batas waktu yang seharusnya hanya 14 hari,” kata I Ketut.
Ia menegaskan bahwa karena kasasi masih berjalan dan belum ada putusan, maka tindakan eksekusi yang dilakukan oleh pihak bank dianggap tidak sah.
Kuasa hukum mempertanyakan prosedur eksekusi yang dinilainya cacat hukum. Menurutnya, ada tahapan yang harus dilewati sebelum sita eksekusi dapat dilakukan.
Seharusnya ada tahapan pemanggilan atau aanmaning terlebih dahulu. Pihak bank harus mengajukan permohonan ke PN, lalu pengadilan akan mengeluarkan penetapan.
“Kalau memang bisa diterima, baru bisa dilakukan sita eksekusi. Tapi dalam kasus ini, tahapan tersebut tidak dilakukan sama sekali,” ujarnya.
Ia juga menyoroti aset jaminan yang menjadi objek sita eksekusi. Awalnya, jaminan yang diberikan hanyalah sebuah mobil Suzuki Ertiga senilai Rp100 juta.
Namun, dalam perjalanan kasus, bank juga menyita truk serta tanah seluas 2.420 m² beserta bangunan di atasnya.
Dirinya menduga ada unsur kriminalisasi dalam kasus ini. Pasalnya, kredit awalnya atas nama suami, tapi tiba-tiba dialihkan ke nama istrinya tanpa sepengetahuan mereka.
Seperti diketahui, Ketua PN Kupang Kelas 1A, Fery Haryanta, SH., telah mengirimkan surat permohonan bantuan keamanan kepada Kapolres Kupang Kota dengan nomor 135//KPN.PN.W26.U1/HK.2.4/III/2025 tertanggal 18 Maret 2025.
Surat tersebut menyebutkan bahwa PN Kupang akan melaksanakan sita eksekusi terhadap aset jaminan di Kelurahan Liliba, Kecamatan Oebobo, Kota Kupang, pada Selasa, 25 Maret 2025 pukul 13.00 WITA.
Dalam surat itu, pihak PN Kupang meminta pengamanan dari Kepolisian Resort Kupang Kota selama pelaksanaan sita eksekusi.
Selain itu, dalam surat tersebut juga disebutkan bahwa semua biaya operasional dalam proses eksekusi ini akan ditanggung sepenuhnya oleh pemohon eksekusi, dalam hal ini Bank Krista Jaya.
Kuasa hukum berharap ada keadilan dalam proses hukum yang berjalan. Pihaknya telah mengajukan keberatan secara tertulis hingga ke MA serta mengirimkan pengaduan masyarakat (dumas) untuk meminta keadilan.
I Ketut berharap kasus ini bisa diproses sesuai aturan hukum yang berlaku dan tidak merugikan kliennya.
Pihaknya masih membuka ruang untuk mediasi, tetapi harus dilakukan secara sah dan melalui pengadilan.
Apabila mediasi menemui jalan buntu maka pihak tergugat akan mengambil langkah-langkah lain sesuai aturan hukum yang berlaku.(ER)