Oleh: Luthfi Retriansyah
KUPANG.NUSA FLOBAMORA– Setiap kali hasil Programme for International Student Assessment (PISA) dirilis, posisi Indonesia kembali memunculkan kegelisahan. Singapura konsisten berada di papan atas dunia, sementara Indonesia masih bertahan di kelompok bawah dalam literasi membaca, matematika, dan sains. Kekhawatiran publik wajar: bagaimana mungkin kita berbicara tentang bonus demografi dan daya saing, jika kemampuan dasar membaca teks dan memahami angka pun masih lemah?
Namun di saat yang sama, dari negara-negara “juara PISA” justru bermunculan cerita lain: anak-anak yang hidup di bawah tekanan akademik, takut gagal, cemas menghadapi ujian sejak sekolah dasar, hingga meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental yang terkait dengan stres belajar.
Di titik ini, pertanyaan penting muncul: haruskah Indonesia memilih antara generasi yang berperingkat tinggi tetapi rapuh secara emosional, atau generasi yang lebih bahagia tetapi tertinggal secara akademik?
Artikel ini berargumen bahwa Indonesia tidak perlu memilih salah satu. Kuncinya terletak pada pergeseran pendekatan pedagogi: dari pendidikan yang menakut-nakuti menuju pendidikan yang menuntut secara akademik, namun tetap memanusiakan peserta didik dengan berpijak pada gagasan Ki Hajar Dewantara.
PISA dan Cara Kita Membaca Ranking
PISA tidak sekadar mengukur hafalan, tetapi kemampuan menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata. Di situ terlihat kualitas literasi dan numerasi yang menjadi fondasi bagi kemampuan berpikir tingkat tinggi. Dalam beberapa siklus terakhir, Singapura menunjukkan performa sangat tinggi; mayoritas siswanya mencapai bahkan melampaui level minimum yang ditetapkan. Indonesia, sebaliknya, masih berjuang untuk memastikan sebagian besar anak sekadar mencapai standar dasar.
Data ini penting sebagai peringatan bahwa ada masalah serius dalam kualitas pembelajaran kita. Namun, persoalan muncul ketika ranking dan skor dijadikan satu-satunya kompas.
Pertanyaan “peringkat kita nomor berapa” lalu menutupi pertanyaan yang lebih mendasar: dengan cara bagaimana skor itu dicapai, dan apa yang terjadi pada anak-anak di balik angka-angka tersebut?
Pelajaran dari Singapura: Mutu Tinggi, Tekanan Tinggi
Singapura sering dijadikan rujukan keberhasilan reformasi pendidikan. Kurikulum dirancang kuat, guru direkrut secara selektif dan dilatih dengan serius, komunitas belajar guru (Professional Learning Community / PLC) berjalan terstruktur, serta kebijakan pendidikan relatif konsisten. Semua ini berkontribusi pada capaian akademik yang mengesankan.
Namun, berbagai studi dan laporan juga menunjukkan sisi lain: tingginya rasa takut gagal, budaya kompetitif yang sangat kuat, serta tekanan besar dari ujian-ujian berisiko tinggi seperti PSLE di akhir sekolah dasar. Bagi sebagian siswa, sekolah tidak lagi dipersepsikan sebagai ruang tumbuh, melainkan arena seleksi yang menegangkan.
Pemerintah Singapura sendiri kini mulai melakukan koreksi: menghapus sejumlah ujian, mendorong “joy of learning”, memperkuat pendidikan karakter dan dukungan kesehatan mental. Langkah ini adalah pengakuan implisit bahwa pendidikan yang efektif secara akademik pun dapat menimbulkan biaya psikologis jika dijalankan dengan kultur yang salah.
Bagi Indonesia, pelajaran pentingnya jelas: kita perlu belajar dari keseriusan Singapura mengelola mutu, tetapi tidak serta-merta menyalin budaya tekanannya.
Pendekatan Pedagogi: Cara Kita Memperlakukan Belajar
Pendekatan pedagogi dapat dipahami sebagai cara pandang guru dan sekolah ketika merancang proses belajar: bagaimana mengajar, memposisikan siswa, serta merancang tugas dan penilaian. Di banyak kelas Indonesia, praktik yang dominan masih teacher-centred: guru menjelaskan, siswa mencatat dan mengerjakan latihan soal, dengan orientasi utama pada nilai rapor dan kelulusan ujian.
Padahal, dunia pendidikan bergerak menuju pembelajaran yang lebih berpusat pada siswa, kontekstual, dan mendorong berpikir tingkat tinggi. Penelitian internasional menekankan pentingnya sosok guru yang warm demander: guru yang memiliki standar akademik tinggi, namun sekaligus hangat, suportif, dan memberi ruang bagi siswa untuk belajar dari kesalahan.
Dengan kata lain, cara kita mengajar—pendekatan pedagogi—akan menentukan apakah tekanan akademik menjadi tantangan yang menumbuhkan, atau justru berubah menjadi sumber kecemasan yang melumpuhkan.
Ki Hajar Dewantara: Fondasi Lokal Pendidikan yang Memanusiakan
Indonesia sebenarnya memiliki fondasi filosofis yang sangat kaya melalui pemikiran Ki Hajar Dewantara.
Bagi Ki Hajar, pendidikan adalah tuntunan terhadap tumbuhnya kodrat anak—baik jasmani maupun rohani—agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.
Sistem among yang beliau rumuskan—asah, asih, asuh—mengandung prinsip pedagogis yang relevan hingga kini. Asah menekankan pengembangan kemampuan intelektual; asih menegaskan pentingnya kasih sayang dan relasi yang hangat antara guru dan murid; asuh menekankan perlindungan dan bimbingan yang bijak.
Ki Hajar juga menolak praktik pendidikan yang menakut-nakuti dan menindas kebebasan batin peserta didik.
Jika diterjemahkan ke dalam bahasa teori kontemporer, gagasan Ki Hajar sejalan dengan pembelajaran sosial emosional, pendidikan positif, dan teori yang menempatkan kebutuhan otonomi, kompetensi, dan keterhubungan sebagai fondasi kesehatan mental dan motivasi belajar.
Artinya, kita tidak mulai dari titik nol. Indonesia memiliki tradisi pemikiran yang justru mengajak kita merancang pendekatan pedagogi yang kuat secara akademik, tetapi tetap menjaga kemanusiaan anak.
Realitas Indonesia: Antara Slogan dan Praktik di Kelas
Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia meluncurkan berbagai kebijakan: Kurikulum Merdeka, Profil Pelajar Pancasila, program Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak, serta penguatan komunitas belajar guru. Dokumen-dokumen kebijakan ini berbicara tentang kemandirian belajar, karakter, dan kompetensi abad 21.
Namun, realitas di ruang kelas sering kali belum banyak berubah. Di banyak sekolah, pembelajaran masih didominasi ceramah dan latihan soal; nilai dan ranking tetap menjadi pusat perhatian orang tua dan sekolah.
Guru menghadapi beban administrasi yang besar, jumlah siswa yang banyak, serta tuntutan berbagai program sekaligus.
Jika lensa diperbesar ke daerah-daerah seperti Nusa Tenggara Timur—wilayah Flobamorata dengan gugusan pulau Flores, Sumba, Timor, Alor, dan Lembata—tantangannya menjadi berlapis. Di satu sisi, sekolah-sekolah di NTT sedang berusaha menyesuaikan diri dengan Kurikulum Merdeka dan berbagai jargon baru tentang profil pelajar yang berkarakter.
Di sisi lain, banyak guru masih bergulat dengan ruang kelas yang penuh, sarana terbatas, akses literasi yang minim, serta latar belakang sosial ekonomi keluarga yang beragam. Dalam situasi seperti ini, tekanan untuk “mengejar nilai” sering kali berbenturan dengan kebutuhan dasar: memastikan anak hadir di sekolah, kenyang, dan siap belajar.
Tidak sedikit guru di NTT yang sebenarnya menyadari pentingnya pendekatan pedagogi yang lebih manusiawi—lebih banyak dialog, proyek, dan pembelajaran kontekstual dengan budaya lokal. Namun, ketika laporan nilai, target akreditasi, dan tuntutan administratif mendesak, ruang untuk berinovasi kerap menyempit. Di banyak sekolah, guru akhirnya kembali pada pola paling aman: ceramah dan drilling soal, meski mereka tahu pendekatan itu tidak cukup untuk membangun literasi dan karakter anak Flobamorata yang sesungguhnya kaya potensi.
Di tengah kondisi seperti ini, pendekatan pedagogi yang manusiawi sering terasa idealistik dan sukar diwujudkan. Padahal, justru dalam situasi tekanan dan keterbatasan inilah guru dan sekolah membutuhkan kerangka yang jelas untuk menata kembali cara mengajar dan mengelola belajar—baik di kota-kota besar Jawa, maupun di sekolah-sekolah kecil di ujung NTT.
Tiga Arah Pembaruan Pendekatan Pedagogi
Setidaknya ada tiga arah pembaruan yang dapat didorong jika kita ingin menjaga mutu akademik sekaligus kesehatan mental siswa.
Pertama, memperjelas tujuan: prestasi dan kesejahteraan sebagai satu paket.
Sekolah perlu berani menyatakan bahwa keberhasilan tidak hanya diukur dari nilai ujian atau jumlah siswa yang masuk sekolah favorit, tetapi juga dari indikator keterlibatan belajar, iklim psikologis yang aman, dan menurunnya kasus perundungan serta kecemasan terkait sekolah.
Di NTT, misalnya, keberhasilan tidak cukup jika sekadar menaikkan rata-rata nilai matematika; yang sama penting adalah memastikan anak-anak tetap senang datang ke sekolah, tidak putus di tengah jalan, dan merasa belajar relevan dengan kehidupan mereka di desa dan pulau masing-masing.
Ketika tujuan dirumuskan secara lebih utuh, kebijakan dan praktik pembelajaran akan terdorong untuk ikut bertransformasi.
Kedua, membangun iklim kelas yang menantang namun suportif.
Guru tetap perlu menjaga standar akademik yang tinggi. Tugas yang menuntut pemikiran mendalam, proyek berbasis masalah nyata, dan kesempatan presentasi di depan teman adalah bagian penting dari latihan intelektual.
Namun semua itu perlu dibingkai dalam relasi yang hangat: guru yang memberi penjelasan memadai, memberi umpan balik yang membangun, dan tidak mempermalukan siswa ketika melakukan kesalahan. Kombinasi “tinggi tuntutan, tinggi dukungan” inilah bentuk konkret dari semangat among di kelas modern—baik di sekolah favorit di kota, maupun di kelas terpadu di lereng bukit Flores atau pelosok Pulau Timor.
Ketiga, mereformasi asesmen dan memperkuat ekosistem belajar.
Ujian tetap diperlukan, tetapi perannya tidak boleh menjadi vonis hidup-mati. Asesmen formatif—umpan balik berkala yang membantu siswa memahami kemajuan dan kelemahannya—perlu diperkuat. Di tingkat yang lebih luas, orang tua dan masyarakat diajak menggeser orientasi dari sekadar bertanya “ranking berapa” menjadi “apa yang kamu pelajari” dan “bagian mana yang paling menantang bagi kamu hari ini”.
Di konteks lokal seperti NTT, peran gereja, komunitas adat, dan organisasi kemasyarakatan juga dapat diposisikan sebagai mitra sekolah dalam membangun budaya belajar yang sehat dan tidak semata-mata berfokus pada angka.
Tanpa perubahan cara pandang di rumah dan lingkungan, guru akan kesulitan mempertahankan pendekatan pedagogi yang lebih sehat.
Penutup: Ke Mana Kita Mengarahkan Sekolah Indonesia?
PISA dan berbagai studi internasional tetap penting sebagai cermin untuk melihat kelemahan sistem pendidikan kita. Namun perdebatan tentang posisi Indonesia di tabel ranking tidak boleh berhenti pada angka, grafik, dan perbandingan semata.
Pendidikan yang semata-mata berorientasi pada peringkat berisiko melahirkan generasi yang cerdas secara kognitif, tetapi rapuh secara emosional. Pendidikan yang manusiawi justru berupaya menyeimbangkan keduanya: membangun kapasitas akademik sekaligus ketangguhan psikologis dan karakter.
Singapura mengingatkan kita bahwa mutu akademik tinggi dapat dicapai jika negara serius mengelola kualitas guru dan pembelajaran. Ki Hajar Dewantara mengingatkan bahwa jalan ke sana tidak boleh mengorbankan jiwa anak.
Karena itu, pertanyaan yang seharusnya terus-menerus kita ajukan bukan hanya, “bagaimana cara menaikkan ranking Indonesia dalam PISA?”, melainkan juga, “dengan pendekatan pedagogi seperti apa kita ingin membentuk anak-anak Indonesia di ruang-ruang kelas hari ini—dari Jakarta hingga Kupang, dari Jawa hingga Flobamora?”
Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan menentukan apakah sekolah-sekolah kita kelak menjadi pabrik nilai, atau sungguh-sungguh menjadi taman tempat anak tumbuh sebagai manusia yang cerdas dan merdeka.(*)
*) Luthfi Retriansyah, mahasiswa doktoral Ilmu Pendidikan di Universitas Sebelas Maret.






